Apa itu talak bain? Secara ringkas Talak ba’in adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak rujuk dengan istri yang ditalaknya. Talak ini ada dua macam: ba’in bainunah sughra dan ba’in bainunah kubra.
A. Talak Ba’in Bainunah Sughra
Talak Ba'in Bainunah sughra adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak rujuk dengan istri yang ditalaknya kecuali dengan akad dan mahar yang baru. Talak ini memiliki dampak-dampak hukum sebagai berikut.
1. Menghilangkan Hak Kepemilikan, Bukan Kehalalan. Artinya, dengan jatuhnya talak ini tali pernikahan menjadi putus sehingga status istri berubah menjadi wanita asing bagi suami. Hak-hak suami istri satu sama lain pun berakhir, kecuali kewajiban memberi nafkah kepada istri selama masa iddah jika dia dalam keadaan hamil tanpa ada perbedaan pendapat ulama mengenai hal itu. [Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah karya Dr. Abdulkarim Zaidan (VIII/59-60) dengan sedikit penyesuaian]
Adapun tentang kewajiban memberi nafkah kepada istri yang tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut sebagaimana akan dijelaskan nanti. Agar istri yang ditalak tersebut menjadi halal bagi suami yang mentalaknya, tidak disyaratkan pernikahan istri dengan laki-laki lain, tetapi cukup suami rujuk dengannya, mengembalikannya ke dalam tanggung jawabnya dengan menikahinya dengan akad dan mahar yang baru. [Al-Mughni (VII/274) dan al-Badai‘ (III/187)]
2. Suami Yang Mentalak Tidak Memiliki Hak Rujuk Dalam Masa Iddah, namun dia berhak menikahi istri yang ditalaknya itu --asalkan sang istri rela-- selama rentang masa iddah (Waktu untuk ini menurut ulama yang berpendapat bahwa talak ba’in bainunah sughra terjadi tanpa talak adalah sebelum dukhul (persetubuhan) dan dalam hal ini tidak ada iddah.
3. Pembayaran Mahar Muajjal (Tunda) yang tidak ditentukan waktu pembayarannya saat akad, karena talak adalah batas waktu terdekat dari dua batas waktu, yaitu kematian dan talak. Ini sudah dijelaskan di dalam pembahasan Hukum-Hukum Mahar.
4. Tidak ada zihar, ila’, dan li‘an, serta waris-mewarisi di antara keduanyakarena telah jatuhnya bainunah (pemisahan total) semata-mata dengan jatuhnya talak ini. [Al-Badai‘ (III/187)]
5. Berkurangnya Bilangan Talak. Talak ba’in bainunah shugra mengurangi jatah talak yang dimiliki suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya. Jika dia kembali menikahi istrinya itu dengan akad baru sebelum si istri menikah dengan laki-laki lain, sementara dia sudah pernah mentalaknya satu kali dengan talak ba’in, maka dia tinggal memiliki dua kali talak kepada istri tersebut. Demikian pula hukumnya jika dia menikahi kembali istrinya itu dengan akad baru, setelah sebelumnya si istri sudah menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercerai atau ditinggal mati sebelum sempat bersebadan dengannya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini. [Fath al-Qadir (III/178) dan al-Mughni (VII/261)]
Adapun selain kondisi-kondisi tersebut, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang cara menghitung bilangan talak padanya. Pembahasannya akan dijelaskan setelah ini di dalam masalah penghapusan Talak. Insya Allah.
Maksudnya adalah jika seorang suami mentalak istrinya satu atau dua kali, kemudian istri tersebut menikah dengan laki-laki lain lalu laki-laki itu mentalaknya juga, kemudian dia kembali ke suami pertama, maka apakah talak yang telah dijatuhkan suami pertama tetap dihitung sehingga nantinya hitungan talaknya dilanjutkan dari yang tersisa? Ataukah pernikahannya dengan suami kedua menghapuskan bilangan talak yang telah dijatuhkan suami pertama sehingga bilangan talak yang masih dimiliki suami pertama kembali tiga?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat. [Al-Badai‘ (III/127), Fath al-Qadir (III/178 dengan Syarh al-Hidayah), al-Umm (V/250), Mughni al-Muhtaj (III/293)]
Pertama: Hitungan Talak Yang Pernah Dijatuhkan Suami Pertama Tetap Dihitung Sehingga Ketika Si Istri Kembali Kepadanya, Jumlah Talak Yang Masih Dimilikinya Adalah Yang Tersisa.
Artinya, jika talak yang sudah dia jatuhkan sebelum kembali menjadi istrinya adalah satu, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah dua. Jika jumlah talak yang sudah dia jatuhkan adalah dua, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah satu.
Ini adalah pendapat Umar bin al-Khaththab, Ali, ‘Imran bin Hushain, Abu Hurairah, dan sahabat selain mereka. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu al-Musayyab, al-Hasan, ats-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan, Malik, asy-Syafi‘i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, salah satu dari dua riwayat Ahmad, dan pendapat Ibnu al-Mundzir. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
1. Suami kedualah yang mengakhiri keharaman istri tertalak tiga bagi suami pertamanya dengan dalil firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah: 230]
Tidak ada penghentian keharaman sebelum keharaman itu sendiri ada, dan tidak ada keharaman kecuali sesudah jatuhnya talak tiga. [Mereka mengatakan demikian karena jika suami mentalak istri talak tiga kemudian istri menikah dengan laki-laki lain sebelum kembali kepadanya dengan akad yang baru, maka suami memiliki tiga talak baru menurut kesepakatan ulama. Lihat referensi sebelumnya ditambah Ibnu ‘Abidin (III/418)]
2. Fatwa Umar radhiallahu ‘anhu tentang hal itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Umar bin al-Khaththab tentang seorang laki-laki dari penduduk Bahrain yang menjatuhkan talak satu atau dua kepada istrinya. Setelah berakhir masa iddahnya, si istri menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi tidak berapa lama, dia berpisah dengan laki-laki itu karena laki-laki itu mentalaknya atau meninggal dunia. Kemudian si istri menikah kembali dengan laki-laki pertama. Umar menjawab, ‘Dia sebagai istrinya dengan sisa talak yang tersisa.” [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: asy-Syafi‘i sebagaimana terdapat dalam musnadnya (II/nomor 125 - Syifa’ al-‘Iy) dan dari jalannya al-Baihaqi meriwayatkan (VII/364)]
Kedua: Pernikahan Istri Dengan Suami Kedua Menghapus Semua Talak Yang Telah Dijatuhkan Suami Pertama Kepadanya Sehingga Ketika Dia Kembali Ke Suami Pertama, Jumlah Talak Yang Dimiliki Suami Pertama Kembali Tiga.
Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ini juga pendapat ‘Atha’, an-Nakha‘i, Syuraih, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan riwayat yang lain dari Ahmad. Mereka mengajukan argumen sebagai berikut.
1. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua telah menetapkan kehalalan istri untuk dinikahi suami pertama dengan akad baru sehingga memiliki tiga talak sebagaimana jika istri adalah tertalak tiga olehnya (sebelum menikah dengan suami keduanya).
2. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua menghapuskan ketiga talak yang dijatuhkan suami pertama --dan ini perkara yang disepakati para ulama-- seandainya ketiganya dijatuhkan suami (sebelum istri menikah dengan suami keduanya). Maka tentunya jauh lebih pantas jika persetubuhan itu menghapuskan talak satu atau talak dua yang dijatuhkan suami pertama.
Talak jenis ini dianggap jatuh dalam keadaan-keadaan berikut :
1. Talak Yang Jatuh Sebelum Terjadinya Hubungan Badan Suami Istri
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu mentalak mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta mereka menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” [Surat al-Ahzab:49]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa istri yang tertalak sebelum sempat digauli oleh suami yang mentalaknya tidak wajib menjalani iddah dan yang mentalaknya tidak punya hak untuk rujuk dengannya karena talak yang dia jatuhkan bukan talakraj‘i tetapi talak ba’in. Ini telah menjadi ijma’ ulama. [Hanya saja, ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal jika suami mentalaknya dengan talak tiga baik dalam satu lafazh sekaligus atau pun terpisah-pisah. Bagi mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak tiga, berarti menjadikannya bainunah kubra, sedangkan mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak satu, berarti menjadikannya bainunah sughra. Akan datang pembahasan masalah ini nanti tentang mana yang lebih benar. Lihat al-Mughni (VII/264)]
Catatan tambahan: Talak yang dijatuhkan setelah suami-istri berkhalwat tetapi belum sempat melakukan persetubuhan secara hakiki adalah talakba’in menurut jumhur ulama.
Alasannya karena hubungan badan hakiki tadi tidak terjadi sehingga tidak ada kewajiban bagi istri untuk beriddah dan suami tidak berhak untuk rujuk. Adapun tentang tetap adanya kewajiban iddah setelah terjadinya khalwat secara hakiki menurut ulama Hanafiyah, maka itu sebagai bentuk kehati-hatian dan bukan karena tetapnya hak rujuk bagi suami. [Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109)]
2. Talak Yang Dijatuhkan Sebagai Ganti Harta (Khulu‘) Menurut Jumhur Ulama
Talak yang dijatuhkan sebagai ganti harta adalah talak ba’in menurut jumhur ulama karena istri tidak akan begitu saja menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya dalam kasus khulu‘ agar ditalak melainkan dengan maksud agar dia bisa memiliki kembali dirinya sendiri dan terlepas dari ikatan pernikahan. Tujuan tersebut tentu tidak akan didapatkan olehnya dengan talak raj‘i, melainkan dengan talak ba’in.[Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109), Ibnu ‘Abidin (III/400), al-Khurasyi (IV/16), Mughni al-Muhtaj (III/337)]
Penulis berkata: Menggolongkan khulu‘ sebagai talak ba’in dengan pengertian bahwa suami akan menikahi kembali si istri dengan kerelaannya --sesudah khulu‘tersebut jika suami menginginkan-- dengan akad dan mahar yang baru, maka ini jelas penggolongan yang benar. Akan tetapi jika pengertiannya adalah bahwa ia adalah satu talak dari tiga talak yang dimiliki suami, maka tidak benar. Sebab, pendapat yang benar adalah khulu‘ itu fasakh dan bukan talak, sehingga tidak boleh dihitung sebagai salah satu dari talak yang tiga berdasarkan pendapat jumhur ulama sebagaimana akan dijelaskan nanti. Wallahu a‘lam.
3. Sejumlah Kasus Pemisahan Suami Istri (Tafriq) jatuh sebagai talak ba’in bainunah sughra, seperti dalam kasus pemisahan suami istri karena adanya cacat, bahaya, atau ila’ sebagaimana akan dijelaskan nanti. Insya Allahu Ta‘ala.
Catatan Penting: Talak Yang Dijatuhkan Dengan Lafazh Sharih Yang Dibatasi Dengan Suatu Sifat Atau Dengan Lafazh Kinayah Kepada Istri Yang Telah Digauli Adalah TalakRaj‘I Dan Bukan Ba’in Menurut Pendapat Yang Rajih. [Kecuali jika talak tersebut telah sempurna tiga, maka menjadi ba’in bainunah kubra]
Jika suami mengatakan kepada istrinya ucapan “anti thaliq al-battah” atau “anti thaliq ba’in” (kamu tertalak ba’in), maka ucapan itu jatuh sebagai talak raj‘i. Sebab, saat dia mengucapkan “anti thaliq”, maka dia telah mengucapkan lafazh talak yang sharih, dan itu menunjukkan bahwa dia masih ada keinginan rujuk. Sedangkan saat dia mengucapkan lafazh “ba’in”, maka dia ingin membedakan perkara yang disyariatkan, yaitu rujuk, maka keinginannya itu ditolak. Sebab, yang menjadi asal dalam talak adalah talak raj ‘i, dan berpegang pada yang asal ini lebih utama daripada mengabaikannya hanya karena suatu sifat yang dilekatkan oleh yang mentalak ke lafazh talak. Inilah yang sesuai dengan hikmah disyariatkannya talak. Ini merupakan pendapat asy-Syafi‘i dan suatu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. [Al-Umm (V/241), al-Muharrir (II/55), dan Majmu‘ al-Fatawa (XXIII/155)]
Jika talak dengan lafazh sharih tidak lain adalah talak raj ‘i, maka talak dengan lafazhkinayah --yang lebih daripada lafazh sharih karena selain mengandung arti talak juga mengandung arti yang lain-- tentulah lebih utama menjadi talak raj‘i.
Di samping itu, talak merupakan ketetapan syariat yang tidak terpengaruh dengan niat, maka menggunakan kinayah untuk talak ba’in merupakan tindakan merubah ketetapan syariat. [Lihat pendapat-pendapat ulama mengenai talak kina’i (talak dengan lafazh kinayah) di dalam: al-Badai‘ (III/111), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (halaman 253), Kasyf al-Qana‘ (III/151), dan al-Mughni(VII/133)]
Talak ba’in bainunah kubra adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak untuk merujuk istri yang telah ditalaknya, baik pada masa iddah atau pun sesudah berakhirnya masa itu, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, dan setelah istri menikah lagi dengan laki-laki lain dan bersetubuh dengannya lalu bercerai dengannya, baik karena ditinggal mati atau pun karena ditalak, dan setelah melalui masa iddah dari suami keduanya tersebut.
Dalam pernikahan istri dengan laki-laki lain tersebut yang dengan itu suami pertama kembali halal menikahinya disyaratkan hal-hal berikut.
1. Hendaknya Pernikahan Tersebut Adalah Pernikahan Yang Sah Baik Secara Lahir Atau Pun Batin. Sah secara lahir berarti terpenuhinya syarat-syarat sah penyelenggaraan akad nikah dan syarat-syarat sah akad nikah itu sendiri. Jika akadnya fasid, maka menurut jumhur ulama, maka penghalalan untuk suami pertama tidak tercapai. [Al-Mughni (VII/275)] Sedangkan sah secara batin mengandung arti bahwa maksud yang ingin dicapai dari pernikahan tersebut adalah mewujudkan tujuan-tujuan pernikahan, seperti terbentuknya suatu keluarga, terjaganya kehormatan suami dan istri, dan lahirnya keturunan. Jika maksud yang diinginkan dari pernikahan tersebut hanya agar suami pertama kembali halal menikahi bekas istrinya, maka penghalalan yang dimaksud tersebut tidak tercapai sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Pernikahan yang Fasid.
2. Hendaknya Istri Sudah Disetubuhi Oleh Suami Keduanya. Jadi, tidak cukup hanya sekadar akad yang sah tanpa terjadinya hubungan badan suami istri. Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dan ini pula yang disebutkan di dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rifa‘ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya. Kemudian perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemudian perempuan itu menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ حَتَّى وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa‘ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan ‘madu’-nya dan suami keduamu itu merasakan ‘madu’-mu .” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2639) dan Muslim (1433)]
“Usailah” (manis madu) dalam hadits ini menurut jumhur ulama adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan saat masuknya batang penis ke dalam vagina meskipun tanpa keluarnya mani (ejakulasi).
Jumhur ulama kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal. Jika suami menyetubuhinya saat mengalami haid atau nifas atau saat berihram, maka belum cukup untuk halalnya perempuan tersebut bagi suami pertamanya. Dan yang benar --yang dipilih oleh Ibnu Qudamah-- adalah bahwa persetubuhan seperti itu sudah cukup karena dengan itu “usailah” sudah didapatkan dan telah masuk dalam cakupan keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:
حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“... hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:230]
Di samping bagaimanapun juga persetubuhan tersebut tetaplah suatu persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang sah melalui organ persenggamaan yang sah (bukan melalui dubur) dengan cara yang sempurna, maka menjadi halal sebagaimana halalnya persetubuhan yang halal. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. [Al-Mughni (VII/276)]
1. Pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah kubra sama dengan yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah sughra.
2. Istri yang ditalak tidak halal bagi suami pertama kecuali jika dia sudah menikah lagi dengan laki-laki lain secara sah sesuai dengan cara yang telah dijelaskan di atas, kemudian berpisah dengan laki-laki itu karena ditinggal mati atau ditalak dan selesai menjalani masa iddah darinya.
Catatan tambahan: Pernikahan kedua menghapus ketiga talak yang telah dijatuhkan suami pertama. Jika seorang perempuan dinikahi kembali oleh mantan suami pertamanya, setelah perempuan tersebut bercerai dengan suami keduanya dan selesai menjalani iddah darinya, maka suami pertama memiliki hak tiga talak baru kepadanya menurut ijma’ ulama. [Al-Mughni (VII/261)]
Talak jenis ini jatuh atau berlaku jika jumlah talak yang dijatuhkan telah sempurna tiga. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ ... فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:229-230]
Ini telah menjadi ijma’ ulama. [Tafsir al-Qurthubi tentang surat al-Baqarah:230].
Demikian ulasan lengkap mengenai hukum talak bain dan berbagai konsekwensi hukum yang mengikutinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
Pengaruh Dan Dampak Hukum Talak Ba’in Bainunah Sughra
1. Menghilangkan Hak Kepemilikan, Bukan Kehalalan. Artinya, dengan jatuhnya talak ini tali pernikahan menjadi putus sehingga status istri berubah menjadi wanita asing bagi suami. Hak-hak suami istri satu sama lain pun berakhir, kecuali kewajiban memberi nafkah kepada istri selama masa iddah jika dia dalam keadaan hamil tanpa ada perbedaan pendapat ulama mengenai hal itu. [Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah karya Dr. Abdulkarim Zaidan (VIII/59-60) dengan sedikit penyesuaian]
Adapun tentang kewajiban memberi nafkah kepada istri yang tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut sebagaimana akan dijelaskan nanti. Agar istri yang ditalak tersebut menjadi halal bagi suami yang mentalaknya, tidak disyaratkan pernikahan istri dengan laki-laki lain, tetapi cukup suami rujuk dengannya, mengembalikannya ke dalam tanggung jawabnya dengan menikahinya dengan akad dan mahar yang baru. [Al-Mughni (VII/274) dan al-Badai‘ (III/187)]
2. Suami Yang Mentalak Tidak Memiliki Hak Rujuk Dalam Masa Iddah, namun dia berhak menikahi istri yang ditalaknya itu --asalkan sang istri rela-- selama rentang masa iddah (Waktu untuk ini menurut ulama yang berpendapat bahwa talak ba’in bainunah sughra terjadi tanpa talak adalah sebelum dukhul (persetubuhan) dan dalam hal ini tidak ada iddah.
3. Pembayaran Mahar Muajjal (Tunda) yang tidak ditentukan waktu pembayarannya saat akad, karena talak adalah batas waktu terdekat dari dua batas waktu, yaitu kematian dan talak. Ini sudah dijelaskan di dalam pembahasan Hukum-Hukum Mahar.
4. Tidak ada zihar, ila’, dan li‘an, serta waris-mewarisi di antara keduanyakarena telah jatuhnya bainunah (pemisahan total) semata-mata dengan jatuhnya talak ini. [Al-Badai‘ (III/187)]
5. Berkurangnya Bilangan Talak. Talak ba’in bainunah shugra mengurangi jatah talak yang dimiliki suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya. Jika dia kembali menikahi istrinya itu dengan akad baru sebelum si istri menikah dengan laki-laki lain, sementara dia sudah pernah mentalaknya satu kali dengan talak ba’in, maka dia tinggal memiliki dua kali talak kepada istri tersebut. Demikian pula hukumnya jika dia menikahi kembali istrinya itu dengan akad baru, setelah sebelumnya si istri sudah menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercerai atau ditinggal mati sebelum sempat bersebadan dengannya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini. [Fath al-Qadir (III/178) dan al-Mughni (VII/261)]
Adapun selain kondisi-kondisi tersebut, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang cara menghitung bilangan talak padanya. Pembahasannya akan dijelaskan setelah ini di dalam masalah penghapusan Talak. Insya Allah.
Masalah Penghapusan Talak
Maksudnya adalah jika seorang suami mentalak istrinya satu atau dua kali, kemudian istri tersebut menikah dengan laki-laki lain lalu laki-laki itu mentalaknya juga, kemudian dia kembali ke suami pertama, maka apakah talak yang telah dijatuhkan suami pertama tetap dihitung sehingga nantinya hitungan talaknya dilanjutkan dari yang tersisa? Ataukah pernikahannya dengan suami kedua menghapuskan bilangan talak yang telah dijatuhkan suami pertama sehingga bilangan talak yang masih dimiliki suami pertama kembali tiga?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat. [Al-Badai‘ (III/127), Fath al-Qadir (III/178 dengan Syarh al-Hidayah), al-Umm (V/250), Mughni al-Muhtaj (III/293)]
Pertama: Hitungan Talak Yang Pernah Dijatuhkan Suami Pertama Tetap Dihitung Sehingga Ketika Si Istri Kembali Kepadanya, Jumlah Talak Yang Masih Dimilikinya Adalah Yang Tersisa.
Artinya, jika talak yang sudah dia jatuhkan sebelum kembali menjadi istrinya adalah satu, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah dua. Jika jumlah talak yang sudah dia jatuhkan adalah dua, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah satu.
Ini adalah pendapat Umar bin al-Khaththab, Ali, ‘Imran bin Hushain, Abu Hurairah, dan sahabat selain mereka. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu al-Musayyab, al-Hasan, ats-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan, Malik, asy-Syafi‘i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, salah satu dari dua riwayat Ahmad, dan pendapat Ibnu al-Mundzir. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
1. Suami kedualah yang mengakhiri keharaman istri tertalak tiga bagi suami pertamanya dengan dalil firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah: 230]
Tidak ada penghentian keharaman sebelum keharaman itu sendiri ada, dan tidak ada keharaman kecuali sesudah jatuhnya talak tiga. [Mereka mengatakan demikian karena jika suami mentalak istri talak tiga kemudian istri menikah dengan laki-laki lain sebelum kembali kepadanya dengan akad yang baru, maka suami memiliki tiga talak baru menurut kesepakatan ulama. Lihat referensi sebelumnya ditambah Ibnu ‘Abidin (III/418)]
2. Fatwa Umar radhiallahu ‘anhu tentang hal itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Umar bin al-Khaththab tentang seorang laki-laki dari penduduk Bahrain yang menjatuhkan talak satu atau dua kepada istrinya. Setelah berakhir masa iddahnya, si istri menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi tidak berapa lama, dia berpisah dengan laki-laki itu karena laki-laki itu mentalaknya atau meninggal dunia. Kemudian si istri menikah kembali dengan laki-laki pertama. Umar menjawab, ‘Dia sebagai istrinya dengan sisa talak yang tersisa.” [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: asy-Syafi‘i sebagaimana terdapat dalam musnadnya (II/nomor 125 - Syifa’ al-‘Iy) dan dari jalannya al-Baihaqi meriwayatkan (VII/364)]
Kedua: Pernikahan Istri Dengan Suami Kedua Menghapus Semua Talak Yang Telah Dijatuhkan Suami Pertama Kepadanya Sehingga Ketika Dia Kembali Ke Suami Pertama, Jumlah Talak Yang Dimiliki Suami Pertama Kembali Tiga.
Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ini juga pendapat ‘Atha’, an-Nakha‘i, Syuraih, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan riwayat yang lain dari Ahmad. Mereka mengajukan argumen sebagai berikut.
1. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua telah menetapkan kehalalan istri untuk dinikahi suami pertama dengan akad baru sehingga memiliki tiga talak sebagaimana jika istri adalah tertalak tiga olehnya (sebelum menikah dengan suami keduanya).
2. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua menghapuskan ketiga talak yang dijatuhkan suami pertama --dan ini perkara yang disepakati para ulama-- seandainya ketiganya dijatuhkan suami (sebelum istri menikah dengan suami keduanya). Maka tentunya jauh lebih pantas jika persetubuhan itu menghapuskan talak satu atau talak dua yang dijatuhkan suami pertama.
Kapan Talak Ba’in Bainunah Sughra Berlaku?
Talak jenis ini dianggap jatuh dalam keadaan-keadaan berikut :
1. Talak Yang Jatuh Sebelum Terjadinya Hubungan Badan Suami Istri
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu mentalak mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta mereka menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” [Surat al-Ahzab:49]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa istri yang tertalak sebelum sempat digauli oleh suami yang mentalaknya tidak wajib menjalani iddah dan yang mentalaknya tidak punya hak untuk rujuk dengannya karena talak yang dia jatuhkan bukan talakraj‘i tetapi talak ba’in. Ini telah menjadi ijma’ ulama. [Hanya saja, ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal jika suami mentalaknya dengan talak tiga baik dalam satu lafazh sekaligus atau pun terpisah-pisah. Bagi mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak tiga, berarti menjadikannya bainunah kubra, sedangkan mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak satu, berarti menjadikannya bainunah sughra. Akan datang pembahasan masalah ini nanti tentang mana yang lebih benar. Lihat al-Mughni (VII/264)]
Catatan tambahan: Talak yang dijatuhkan setelah suami-istri berkhalwat tetapi belum sempat melakukan persetubuhan secara hakiki adalah talakba’in menurut jumhur ulama.
Alasannya karena hubungan badan hakiki tadi tidak terjadi sehingga tidak ada kewajiban bagi istri untuk beriddah dan suami tidak berhak untuk rujuk. Adapun tentang tetap adanya kewajiban iddah setelah terjadinya khalwat secara hakiki menurut ulama Hanafiyah, maka itu sebagai bentuk kehati-hatian dan bukan karena tetapnya hak rujuk bagi suami. [Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109)]
2. Talak Yang Dijatuhkan Sebagai Ganti Harta (Khulu‘) Menurut Jumhur Ulama
Talak yang dijatuhkan sebagai ganti harta adalah talak ba’in menurut jumhur ulama karena istri tidak akan begitu saja menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya dalam kasus khulu‘ agar ditalak melainkan dengan maksud agar dia bisa memiliki kembali dirinya sendiri dan terlepas dari ikatan pernikahan. Tujuan tersebut tentu tidak akan didapatkan olehnya dengan talak raj‘i, melainkan dengan talak ba’in.[Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109), Ibnu ‘Abidin (III/400), al-Khurasyi (IV/16), Mughni al-Muhtaj (III/337)]
Penulis berkata: Menggolongkan khulu‘ sebagai talak ba’in dengan pengertian bahwa suami akan menikahi kembali si istri dengan kerelaannya --sesudah khulu‘tersebut jika suami menginginkan-- dengan akad dan mahar yang baru, maka ini jelas penggolongan yang benar. Akan tetapi jika pengertiannya adalah bahwa ia adalah satu talak dari tiga talak yang dimiliki suami, maka tidak benar. Sebab, pendapat yang benar adalah khulu‘ itu fasakh dan bukan talak, sehingga tidak boleh dihitung sebagai salah satu dari talak yang tiga berdasarkan pendapat jumhur ulama sebagaimana akan dijelaskan nanti. Wallahu a‘lam.
3. Sejumlah Kasus Pemisahan Suami Istri (Tafriq) jatuh sebagai talak ba’in bainunah sughra, seperti dalam kasus pemisahan suami istri karena adanya cacat, bahaya, atau ila’ sebagaimana akan dijelaskan nanti. Insya Allahu Ta‘ala.
Catatan Penting: Talak Yang Dijatuhkan Dengan Lafazh Sharih Yang Dibatasi Dengan Suatu Sifat Atau Dengan Lafazh Kinayah Kepada Istri Yang Telah Digauli Adalah TalakRaj‘I Dan Bukan Ba’in Menurut Pendapat Yang Rajih. [Kecuali jika talak tersebut telah sempurna tiga, maka menjadi ba’in bainunah kubra]
Jika suami mengatakan kepada istrinya ucapan “anti thaliq al-battah” atau “anti thaliq ba’in” (kamu tertalak ba’in), maka ucapan itu jatuh sebagai talak raj‘i. Sebab, saat dia mengucapkan “anti thaliq”, maka dia telah mengucapkan lafazh talak yang sharih, dan itu menunjukkan bahwa dia masih ada keinginan rujuk. Sedangkan saat dia mengucapkan lafazh “ba’in”, maka dia ingin membedakan perkara yang disyariatkan, yaitu rujuk, maka keinginannya itu ditolak. Sebab, yang menjadi asal dalam talak adalah talak raj ‘i, dan berpegang pada yang asal ini lebih utama daripada mengabaikannya hanya karena suatu sifat yang dilekatkan oleh yang mentalak ke lafazh talak. Inilah yang sesuai dengan hikmah disyariatkannya talak. Ini merupakan pendapat asy-Syafi‘i dan suatu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. [Al-Umm (V/241), al-Muharrir (II/55), dan Majmu‘ al-Fatawa (XXIII/155)]
Jika talak dengan lafazh sharih tidak lain adalah talak raj ‘i, maka talak dengan lafazhkinayah --yang lebih daripada lafazh sharih karena selain mengandung arti talak juga mengandung arti yang lain-- tentulah lebih utama menjadi talak raj‘i.
Di samping itu, talak merupakan ketetapan syariat yang tidak terpengaruh dengan niat, maka menggunakan kinayah untuk talak ba’in merupakan tindakan merubah ketetapan syariat. [Lihat pendapat-pendapat ulama mengenai talak kina’i (talak dengan lafazh kinayah) di dalam: al-Badai‘ (III/111), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (halaman 253), Kasyf al-Qana‘ (III/151), dan al-Mughni(VII/133)]
B. Talak Ba’in Bainunah Kubra
Talak ba’in bainunah kubra adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak untuk merujuk istri yang telah ditalaknya, baik pada masa iddah atau pun sesudah berakhirnya masa itu, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, dan setelah istri menikah lagi dengan laki-laki lain dan bersetubuh dengannya lalu bercerai dengannya, baik karena ditinggal mati atau pun karena ditalak, dan setelah melalui masa iddah dari suami keduanya tersebut.
Dalam pernikahan istri dengan laki-laki lain tersebut yang dengan itu suami pertama kembali halal menikahinya disyaratkan hal-hal berikut.
1. Hendaknya Pernikahan Tersebut Adalah Pernikahan Yang Sah Baik Secara Lahir Atau Pun Batin. Sah secara lahir berarti terpenuhinya syarat-syarat sah penyelenggaraan akad nikah dan syarat-syarat sah akad nikah itu sendiri. Jika akadnya fasid, maka menurut jumhur ulama, maka penghalalan untuk suami pertama tidak tercapai. [Al-Mughni (VII/275)] Sedangkan sah secara batin mengandung arti bahwa maksud yang ingin dicapai dari pernikahan tersebut adalah mewujudkan tujuan-tujuan pernikahan, seperti terbentuknya suatu keluarga, terjaganya kehormatan suami dan istri, dan lahirnya keturunan. Jika maksud yang diinginkan dari pernikahan tersebut hanya agar suami pertama kembali halal menikahi bekas istrinya, maka penghalalan yang dimaksud tersebut tidak tercapai sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Pernikahan yang Fasid.
2. Hendaknya Istri Sudah Disetubuhi Oleh Suami Keduanya. Jadi, tidak cukup hanya sekadar akad yang sah tanpa terjadinya hubungan badan suami istri. Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dan ini pula yang disebutkan di dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rifa‘ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya. Kemudian perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemudian perempuan itu menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ حَتَّى وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa‘ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan ‘madu’-nya dan suami keduamu itu merasakan ‘madu’-mu .” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2639) dan Muslim (1433)]
“Usailah” (manis madu) dalam hadits ini menurut jumhur ulama adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan saat masuknya batang penis ke dalam vagina meskipun tanpa keluarnya mani (ejakulasi).
Jumhur ulama kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal. Jika suami menyetubuhinya saat mengalami haid atau nifas atau saat berihram, maka belum cukup untuk halalnya perempuan tersebut bagi suami pertamanya. Dan yang benar --yang dipilih oleh Ibnu Qudamah-- adalah bahwa persetubuhan seperti itu sudah cukup karena dengan itu “usailah” sudah didapatkan dan telah masuk dalam cakupan keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:
حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“... hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:230]
Di samping bagaimanapun juga persetubuhan tersebut tetaplah suatu persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang sah melalui organ persenggamaan yang sah (bukan melalui dubur) dengan cara yang sempurna, maka menjadi halal sebagaimana halalnya persetubuhan yang halal. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. [Al-Mughni (VII/276)]
Hukum Dan Pengaruh Talak Ba’in Bainunah Kubra
1. Pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah kubra sama dengan yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah sughra.
2. Istri yang ditalak tidak halal bagi suami pertama kecuali jika dia sudah menikah lagi dengan laki-laki lain secara sah sesuai dengan cara yang telah dijelaskan di atas, kemudian berpisah dengan laki-laki itu karena ditinggal mati atau ditalak dan selesai menjalani masa iddah darinya.
Catatan tambahan: Pernikahan kedua menghapus ketiga talak yang telah dijatuhkan suami pertama. Jika seorang perempuan dinikahi kembali oleh mantan suami pertamanya, setelah perempuan tersebut bercerai dengan suami keduanya dan selesai menjalani iddah darinya, maka suami pertama memiliki hak tiga talak baru kepadanya menurut ijma’ ulama. [Al-Mughni (VII/261)]
Kapan Talak Ba’in Bainunah Kubra Jatuh?
Talak jenis ini jatuh atau berlaku jika jumlah talak yang dijatuhkan telah sempurna tiga. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ ... فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:229-230]
Ini telah menjadi ijma’ ulama. [Tafsir al-Qurthubi tentang surat al-Baqarah:230].
Demikian ulasan lengkap mengenai hukum talak bain dan berbagai konsekwensi hukum yang mengikutinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.