Sejarah Perkembangan Fiqih Dari Masa Nabi Hingga Generasi Setelah Tabi`in

Iklan Semua Halaman

Sejarah Perkembangan Fiqih Dari Masa Nabi Hingga Generasi Setelah Tabi`in

Admin
Rabu, 15 April 2020
Asianmuslim.com - Islam adalah agama yang terjaga keaslian hukum-hukumnya. Tidak tercampur aduk oleh kepentingan manusia bahkan nabi sekalipun. Salah satu bukti keontetikan ajaran islam adalah kesinambungan ilmu dari masa ke masa. Ilmu fiqih termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki sejarah ketersambungan kepada Rasulullah. Berikut ini adalah sejarah perkembangan ilmu fiqih dari periode Nabi Muhammad sampai ke generasi berikutnya.

Pada Zaman Nabi

Perlu diketahui bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ilmu fiqih belum ditulis dan pembahasannya dalam hal hukum pada saat itu berbeda dengan para ulama fiqih. Yang mana para fuqaha’ menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan adab beribadah dengan seluruh kemampuannya. Setiap pembahasannya berbeda dengan pembahasan yang lain. Dalil-dalilnyapun berbeda, memberikan gambaran bahasa menurut ketentuan mereka lalu membahasnya. Memberi batas dan ruang lingkup bagi permasalahan yang bisa dibatasi dan lain sebagainya. Sedangkan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berwudhu para Shahabat radhiallahu 'anhum melihat dan meniru bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu tanpa mengatakan: yang ini rukun wudhu dan yang itu adab berwudhu. Mereka melaksanakan Shalat sebagaimana yang mereka lihat dari Rasulullah ketika shalat. Begitu juga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan ibadah haji, para Shahabat melihat beliau dengan seksama dan kemudian menirunya.

Kurang lebih seperti itulah situasi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak dijelaskan bahwa rukun wudhu ada enam atau empat. Dan tidak menyatakan bahwa seseorang ada kemungkinan berwudhu tanpa muwalah sehingga dia dapat dihukumi sah atau tidak dan lain sebagainya. Di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sedikti Shahabat yang menanyakan hal-hal seperti ini.

Ketika para Shahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang berbagai peristiwa beliau menjawabnya. Apabila ada suatu perkara yang terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau menyelesaikannya. Saat Rasulullah melihat orang-orang melakukan perbuatan baik, beliau memujinya. Sebaliknya jika melihat mereka melakukan perbuatan mungkar, beliau mengingkari dan meluruskannya. Apa yang difatwakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berasal dari pertanyaan-pertanyaan Shahabat. Perkara-perkara yang diputuskan Rasulullah mengenai baik dan tidaknya disebabkan berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Beliau memperhitungkan hal-hal yang dimudahkan Allah bagi mereka dalam beribadah, dalam fatwa dan berbagai persoalan lainnya. Kemudian para Shahabat melaksanakan dan menjaganya. Beliau mengetahui betul segala segi dan aspek yang mempengaruhi kondisi masyarakat waktu itu. Sehingga terkadang dalam satu hal beliau mengatakan mubah pada seseorang dan mengatakan sunnah pada orang lain. Pada kesempatan lain beliau mengatakan bahwa hal itu adalah telah diganti dengan hukum yang baru karena disebabkan oleh berbagai faktor. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat tanpa melihat jalan pengambilan dalil. Mereka terus dalam kondisi seperti ini hingga berakhirnya masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ilmu Fiqih Pada Zaman Shahabat Radhiallahu ‘anhum
Pada masa ini para Shahabat saling berpencar ke berbagai penjuru untuk menyebarkan risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akhirnya setiap orang menjadi panutan dalam berbagai persoalan. Disaat peristiwa-peristiwa baru terus terjadi dan berbagai persoalan saling bermunculan, orang-orang meminta fatwa kepada para Shahabat. Setiap Shahabatpun menjawab pertanyaan itu sesuai apa yang dihafal dan dipelajari dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau dari ijtihad mereka. Ketika persoalan-persoalan itu diluar apa yang mereka ketahui dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka melakukan ijtihad berdasarkan pemahaman mereka tentang illat atau alasan-alasan seputar hukum yang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan. Mereka akan mengajarkan setiap hukum yang mereka peroleh dan berusaha keras agar sesuai dengan maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Beberapa Sebab dan bentuk Perbedaan Pendapat Diantara Shahabat

Sebab-sebab dan bentuk-bentuk perbedaan pendapat tersebut diantaranya adalah:

Pertama: Ketika salah seorang Shahabat mengetahui hukum suatu persoalan atau fatwa. Sementara Shahabat lain yang tidak mengetahuinya melakukan ijtihad dalam persoalan tersebut. Ada beberapa bentuk mengenai hal ini:

1. Ijtihad Mereka Sesuai Dengan Hadits

Contoh dalam riwayat: dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau ditanya tentang hukum seorang wanita yang suaminya meninggal sebelum memberinya mahar. Ibnu Mas’ud berkata: “aku tidak mengetahui apakah Rasulullah pernah memutuskan suatu hukum pada permasalahan ini”. Sehingga mereka bolak-balik selama satu bulan menemuinya. Akhirnya Ibnu Mas’ud berijtihad dan memutuskan bahwa wanita tersebut mendapatkan mahar: tidak kurang dan tidak lebih. Dia memiliki masa ‘iddah, memiliki hak waris. Kemudian Mu’aqqal bin Yasar berdiri dan bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memutuskan hal yang serupa kepada seorang wanita pada waktu itu. Mendengar hal itu Ibnu Mas’ud sangat gembira seolah tidak ada kegembiraan yang lebih besar sejak dia masuk Islam.

2. Terjadi Diskusi Diantara Mereka.

Hingga akhirnya hadits tersebut dapat diterima. Lalu Shahabat yang berijtihad menarik ijtihadnya dan kembali kepada hadits.

Contoh dalam riwayat: Abu Hurairah berpendapat jika seseorang pada pagi hari dibulan ramadhan dalam keadaan junub maka puasanya tidak sah. Hingga suatu saat sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi tahunya tentang hadits yang berbeda dengan pendapatnya. Akhirnya beliau menarik ijtihadnya dan kembali kepada hadits.

3. Sebagian Shahabat Mendengar Hadits

Namun menurut perkiraan mereka kemungkinan besar tidak demikian. Mereka tidak meninggalkan ijtihadnya, namun mereka meragukan kebenaran hadits tersebut.

Contoh dalam riwayat: Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha bersaksi di hadapan Umar bin Khathab bahwa dia telah ditalak tiga. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan tidak memberinya nafkah dan tempat tinggal. Namun Umar bin Khathab menolak kesaksian tersebut dan berkata: “Kita tidak mungkin meninggalkan Al-Qur`an hanya disebabkan ucapan seorang wanita yang tidak diketahui apakah dia berkata jujur atau dusta”.

Aisyah radhiallahu ‘anha kemudian berkata: “wahai Fathimah bertakwalah kepada Allah (atas perkataannya tidak menerima nafkah dan tempat tinggal).

4. Ada Hadits namun mereka sama sekali tidak mendengarnya.

Contoh dalam riwayat: Ibnu Amr radhiallahu ‘anhu menyuruh para istrinya untuk mengurai rambutnya saat mandi junub. Ketika Aisyah radhiallahu ‘anha mendengar hal itu beliau berkata: “apa yang dikatakan Ibnu Amr ini sangat mengherankan. Menyuruh para wanita agar mengurai rambutnya. Kenapa tidak sekalian saja menyuruh untuk memotongnya. Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan satu wadah. Dan aku mengguyur kepalaku tidak lebih dari tiga kali guyuran.

Kedua: Para Shahabat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan suatu amalan, sebagian Shahabat menganggap apa yang dilakukan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah sunnah. Sedangkan sebagian yang lain menganggap hal itu adalah mubah.

Contohnya: para Shahabat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlari kecil saat melakukan Tawaf. Kemudian sebagian besar Shahabat mengatakan bahwa berlari kecil saat thawaf adalah sunnah. Sementara Ibnu Abbas mengatakan bahwa itu karena ada suatu hal yang membuat beliau melakukannya. Yaitu perkataan orang-orang musyrik: “Mereka telah dilemahkan penyakit demam di Yatsrib (madinah)”. (Beliau lakukan untuk menunjukan kekuatan kaum muslimin) bukan karena disunnahkan.

Ketiga: Ikhtilaf karena dugaan.

Dalam riwayat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan ibadah haji dan para Shahabatpun melihatnya. Sebagian Shahabat menduga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan haji tamattu’. Sebagian yang lain menduga beliau mengerjakan hajiqiran, dan sebagian yang lain menduga Rasulullah menaksanakan haji ifrad.

Keempat: Ikhtilaf karena lupa atau kurang teliti.
Diriwayatkan: Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah melaksanakan umrah dibulan Rajab”. Ketika Aisyah radhiallahu ‘anha mendengarnya, ia mengatakan bahwa Ibnu Umar lupa tentang hal itu.

Kelima: Ikhtilaf karena tidak akurat dalam kesimpulan hadits.

Seperti dalam riwayat: Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya mayit akan diazab sebab tangisan keluarga yang ditinggalnya”.
Aisyah radhiallahu ‘anha kemudian mengatakan bahwa hal itu adalah kurangnya akurasi dalam pengambilan hadits. Bahwa: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang mayit wanita Yahudi yang sedang ditangisi oleh keluarganya. Kemudian beliau bersabda:

“Mereka menangisi mayit itu sedangkan dia disiksa di kuburnya”.

Tapi Ibnu Umar mengira bahwa azab disebabkan oleh tangisan dan menyangka hal itu berlaku secara umum pada setiap mayit.

Keenam: Ikhtilaf dalam illat suatu hukum.

Contohnya: berdiri ketika melewati jenazah. Sebagian orang berpendapat: “hal itu karena untuk menghormati Malaikat pencabut nyawa. Maka berdiri berlaku umum dilakukan untuk jenazah orang kafir atau mukmin. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu karena dahsyatnya kematian. Berarti ini juga berlaku umum. Sebagian orang berpendapat bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika jenazah Yahudi melintas di depannya. Beliau berdiri karena merasa tidak suka jika jenazah tersebut berada lebih tinggi dari kepalanya. Maka berdiri dikhususkan untuk jenazah orang kafir.

Ketujuh: Ikhtilaf dalam menggabungkan dua pendapat yang berlawanan.

Contohnya: dalam suatu riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menghadap kiblat saat buang air. Suatu kaum berpendapat bahwa ini adalah hukum umum dan tidak di-mansukh-kan. Kemudian Jabir melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam buang air kecil menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat. Maka dia mengatakan bahwa hukum tersebut sudah di-mansukh-kan. Ibnu Umar juga pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam buang air membelakangi kiblat. Dia menolak pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa membelakangi kiblat saat buang air tidak boleh.

Ilmu Fiqih Pada Zaman Tabi’in radhiallahu 'anhum
Secara garis besar pendapat para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kemudian para Tabi’in radhiallahu 'anhum menimba ilmu dari mereka. Setiap orang mengambil ilmu sesuai kondisi dan situasi yang mudah dan memungkinkan bagi mereka. Para Tabi’in mulai menghafal hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan mempelajari pendapat-pendapat para Shahabat radhiallahu 'anhum. Kemudian mengumpulkan perbedaan pendapat para Shahabat radhiallahu 'anhum sesuai kemampuannya. Lalu memilih pendapat terkuat dari sekian pendapat. Menurut mereka suatu pendapat meskipun berasal dari sahabat senior, bisa tidak berlaku misal bila pendapat itu menyelisihi hadits nabi yang dikenal ditengah-tengah mereka.

Setelah itu setiap Tabi’in yang alim memiliki mazhab. Akhirnya setiap negeri memiliki seorang imam. seperti: Sa’id bin Al-Musayyab dan Salim bin Abdullah bin Umar di Madinah. Setelah mereka ada Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin Abdurrahman juga di Madinah. Sedangkan di Makkah ada Atha’ bin Abi Ribah. Di kota Kufah Ibrahim An-Nakh’i dan Asy-Sya’bi. Di kota Bashrah ada Hasan. Thawus bin kisan di Yaman. Mahkul di Syam.

Allah menjadikan orang-orang haus dengan ilmu mereka. Mengambil hadits-hadits dan fatwa-fatwa Shahabat radhiallahu 'anhum. Mempelajari mazhab-mazhab dan tahqiqmereka. Mereka meminta fatwa dan mengajukan berbagai masalah yang terjadi diantara mereka kepada ulama tersebut.

Ibnu Al-Musayyab, Ibrahim An-Nakh’i dan imam-imam semisal mereka telah mengumpulkan bab-bab fiqih dengan lengkap. Sa’id bin Al-Musayyab dan teman-teman sejawatnya beranggapan bahwa ulama Haramain (Makkah dan Madinah) memiliki keabsahan paling tinggi dalam ilmu fiqih. Sedangkan asal mazhab mereka adalah dari persoalan yang sering dibahas oleh umar radhiallahu ‘anhu, Utsman radhiallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, Aisyah radhiallahu ‘anha, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan para qadhi (hakim) Madinah. Sedangkan An-Nakh’i dan teman-teman sejawatnya berpendapat bahwa Abdullah bin Mas’ud dan sahabat-sahabat dekatnya ialah orang-orang yang memiliki keabsahan paling tinggi dalam ilmu fiqih. Mazhab mereka berasal dari fatwa-fatwa Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, permasalahan dan fatwa-fatwa yang pernah dibahas oleh Ali radhiallahu ‘anhu. Juga persoalan-persoalan yang pernah di bahas Tabi’in yang bernama Syarih dan lainnya di Kufah.

Setiap kelompok berpandangan sesuai teori dan penelitian yang mereka miliki. Namun jika suatu persoalan tersebut sudah menjadi ijma’ maka mereka akan menerimanya dengan serta merta. Jika ada perbedaan di antara para Shahabat, Tabi’in akan mengambil pendapat yang terkuat. Apabila tidak mendapatkan jawaban atas suatu permasalahan dari pengetahuan yang mereka peroleh, mereka akan meletakkan perkataan para Shahabat dan mengikuti isyarat yang paling diperlukan dan relevan. Pada masa itu sudah banyak permasalahan-permasalan yang muncul dalam bab fiqih.

Ilmu Fiqih Setelah Zaman Tabi’in

Setelah masa Tabi’in muncul masa keilmuan yang gemilang. Mereka mengambil pengetahuan dari samudra ilmu guru-guru mereka. Berpegang teguh dengan masnad hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menggunakan dalil-dalil dari perkataan para Shahabat dan Tabi’in radhiallahu 'anhum dengan mengetahui bahwa dalil-dalil tersebut ada kalanya hadits manqul dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mereka singkat menjadi hadits mauquf dan ada kalanya hasil istinbat dari berbagai nash atau ijtihad dari pemikiran mereka sendiri. Dalam membedakan hal ini merekalah yang paling lihai dan paling banyak mendapatkan hasil tepat dibanding umat yang datang setelahnya. Mereka juga umat yang paling maju dalam hal keilmuan. Pendapat-pendapat mereka dapat kita amalkan kecuali persoalan-persoalan yang mana mereka belum sepakat. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang sangat berbeda dengan pendapat mereka.

Umat pada masa ini seolah mendapat ilham untuk membukukan semua ilmu. Malik dan Muhammad bin Abdurrahman Ibnu Abi Dzi’ab membukukan fiqih di Madinah. Ibnu jarih dan Ibnu Ayinah menulis di Makkah. Ats-Tsaurii di Kufah. Rabi’ bin Shabih di Bashrah.

Malik radhiallahu ‘anhu memiliki nilai keabsahan dan keakuratan paling tinggi dalam hal sanad-sanad hadits yang diriwayatkan oleh para perawi Madinah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Malik juga paling tahu tentang persoalan yang pernah dibahas ‘Umarradhiallahu ‘anhu. Sangat faham tentang berbagai perkataan dan pendapat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, Aisyah radhiallahu ‘anha dan sahabat-sahabat mereka tujuh ulama fiqih yaitu: Sa’id bin Al-Musayyab, Urwa bin As-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, Ubaidullah bin Abdullah bin Urwa bin Mas’ud, Kharijah bin Zaid, Sulaiman bin Yasar dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Al-Hisyam radhiallahu 'anhum. Dari orang-orang seperti itulah ilmu riwayat dan fatwa didirikan. Ketika ada suatu permasalahan yang disodorkan kepadanya, ia menjelaskan dan memberi fatwa dengan sangat baik dan jeli.

Sedangkan Abu Hanifah selalu mengajar dengan mazhab Ibarahim An-Nakh’i dan sahabat-sahabatnya. Tidak keluar dari itu. Beliau sangat giat dan aktif dalam mentakhrij dan mengurai mazhab Ibrahim An-Nakh’i. Sangat jeli dalam memandang segala aspek saat melakukan takhrij. Dan sangat menyambut baik permasalahan furu’.

Teman Abu Hanifah yang paling sering disebut adalah Abu Yusuf. Sedangkan murid beliau yang paling bagus dalam tulisannya dan yang paling setia dalam belajar adalah Muhammad bin Al-Hasan. Dikatakan dia belajar dari Abu Hanifah juga sekaligus dari Abu Yusuf. Humammad bin Hasan pergi ke Makkah dan membaca kitab Muwatha’ di depan Malik. Lalu kembali ke negaranya dan mulai menyususn dan mengkatagorikan mazhab sahabat-sahabatnya dalam kitab Muwatha’ berbagai permasalahan jika sesuai dengan mazhabnya. Jika tidak, maka dia mencari apakah ada sebagian Shahabat dan Tabi’in yang sependapat dengan mazhabnya. Jika menemukan qiyas yang lemah atau takhrij mazhabnya yang bertentangan dengan hadits Shahih yang sudah diamalkan para ulama fiqih atau yang bertentangan dengan kebanyakan ulama, maka ia meninggalkan pendapat tersebut dan kembali ke mazhab salaf yang menurutnya paling rajih. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan selalu menggunakan hujjah yang digunakan oleh An-Nakh’i setiap ada kesempatan. Persis apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah. Oleh karena itu hanya karena kesamaan mereka dalam hal ini mazhabnya dengan mazhab Abu hanifah disebut-sebut sebagai mazhab yang sama. Walaupun mereka berdua adalah mujtahid mutlak yang mana tidak jarang mereka saling berbeda pendapat baik dalam hal ushul ataupun furu’.

Kemudian tibalah masa Imam Syafi’i di awal-awal munculnya dua mazhab beserta penyusunan bab-bab ushul maupun furu’nya. Beliau memperhatikan para pendahulunya dan menemukan berbagai persoalan yang perlu diperhatikan.

Dia mendapati mereka menggunakan hadits-hadits mursal dan munqati’ sehingga muncullah kerancuan di dalamnya.

Belum adanya kaedah yang akurat dalam penggabungan permasalan yang berbedasehingga menyebabkan terjadinya kerancuan dalam ijtihad mereka. Akhirnya Imam Syafi’i membuat beberapa kaidah kemudian membukukannya. Ini masa pertama kalinya ilmu ushul fiqih dibukukan.

Di masa Imam Syafi’i banyak orang mengumpulkan pendapat para Shahabat dengan berbagai jenis dan perbedaannya. Beliau banyak menemukan apa yang mereka kumpulkan dari perkataan para Shahabat tersebut bertentangan dengan Hadits Shahih yang belum sampai kepada mereka. Namun para salaf selalu kembali kepada hadits. Karena itu beliau meninggalkan pendapat dikalangan para sahabat selama tidak ada kata sepakat diantara mereka, seraya berkata: “mereka manusia dan kita jugamanusia”.

Imam Syafi’i juga banyak menemukan segolongan fuqaha’ yang mencampur adukkan pendapat yang tidak dibenarkan syariat dengan qiyas yang mereka tetapkan. Sehingga mereka tidak dapat membedakan mana yang pendapat dan mana qiyas.

Singkat kata, ketika Imam Syafi’i melihat permasalahan tersebut, beliau mengambil ilmu fiqih dari sumbernya lalu membuat beberapa kaidah ushul, kemudian membukukannya dengan sangat bagus. kemudian ulama fiqih belajar dan mengambil manfaat dari Imam Syafi’i tersbut. Setelah itu mereka berpencar ke berbagai penjuru negeri. Dari sini tersebarnya mazhab asy-Syafi’i.
Baca Juga